Kamis, 19 Juni 2008

GAIRAH NARSE (bag 2)

'Mau nonton ma pak guru sekarang?'
'Ih pak guru nakal.' Narse mencubit lenganku. Kayak pacaran aja. Tapi kuakui ada nikmat tersendiri setiap bersentuhan dengannya.
'Daripada rame-rame mending berdua hehehe'
'Malu pak.' Wajah Narse memerah.
'Ngapain harus malu. Gak ada yang tahu. Ntar pak guru tutup pintu dulu ya.' Aku bergegas mengunci pintu lalu menghidupkan laptop. Kucari film yang bagus yang sudah kusimpan di hard disk lalu aku duduk di sebelah Narse yang masih tersipu-sipu.
'Santai aja. Kayak gak tahu pak guru aja ni.'
Film sudah mulai main. Adegan cium saling merangsang sudah tersaji di hadapan kami. Kemaluanku mulai terasa memuai karena terangsang.
'Nih pegang punya pak guru.' aku meraih tangan Narse lalu meletakkanya di bagian celanaku yang menonjol.
'Ih pak.' Narse buru-buru menarik tangannya karena kaget begitu memegang alat vitalku dari luar celana.
'Gak usah kaget. Cowok kalau lagi terangsang emang itunya tegang. Kan dah lihat di BF.' aku berkata sambil membimbing tangan Narse ke arah kemaluanku. Narse membuang muka ke arah monitor yang memperlihatkan oral sex.
Aku tersenyum dah mulai menarik resleting dan mengeluarkan rudal dari dalam garasinya.
'Aw pak. Apa-apaan.'
'Gak apa-apa. Elus aja.' Dengan canggung Narse melihat kemaluanku. Kuajarkan dengan penuh kesabaran cara memperlakukan burung gurunya. Dah aku sudah tidak peduli dengan status guru dan murid. Yang ada cuma pikiran cabul dan porno.
Narsepun nampaknya sudah dirasuki birahi. Gerakannya yang mulanya kaku sudah mulai lentur bahkan ketika kuminta oral, tanpa banyak tanya Narse jongkok di depanku lalu mengulum kemaluanku membuatku serasa terbang.
Bel istirahat usai sudah 30 menit yang lalu. Di kelas, murid yang laìn mungkin sedang sibuk belajar, sementara Narse juga sibuk dengan pelajaran yang tidak mungkin ia dapatkan di kelas.
Aku nanap memandang tubuh yang kusingkap dari balik baju seragam putih birunya.
Gadis ini memang masih baru 15 tahun namun tubuhnya udah mulai berisi dibanding gadis-gadis di SMP ini yang kuamati.
'Pak, Narse merinding.' Narse mendesah menerima ciuman-ciumanku di bibir dah lehernya.
'Tapi enak kan?'
Narse hanya mengangguk. Gadis kecilku ini begitu pasrah dengan seranganku disetiap inchi tubuhnya. Tubuh putih mulus nya menggeliat di atas karpet hijau tanpa bantal.
Narse begitu mempesona. Aku mabuk oleh bibirnya yang tipis.
Aku dengan penuh kesabaran mulai mengajarkan Narse tentang nikmatnya bercumbu.

Selasa, 20 Mei 2008

GAIRAH NARSE (bag 1)

'Selamat siang, pak.' Narse nongol dari balik pintu.
'Sini duduk, Se.' aku melambaikan tangan memintanya duduk di depan meja kerjaku.
'Penting banget ya, pak?' gadis bongsor itu dengan wajah polosnya mengambil tempat duduk lalu duduk di hadapanku.
'Narse, kamu kan akrab banget dengan bapak.'
'Iya dong.' Narse tersenyum seperti biasa setiap kali bicara denganku.
'Bapak berat mau bilang sama kamu.'
'Apa sih, pak. Gak biasanya. Kan bapak bilang kita kan harus saling terbuka karena kita bisa menumbuhkan saling kepercayaan.' Narse nyerocos lalu nyengir kuda. Dia membalikkan semua kata-kataku.
'Tapi ini lain.'
'Gak apa-apa, pak.' Narse nampak makin penasaran.
'Gini anak manis. Bapak mendengar kabar tidak mengenakkan tentang kamu.' Kupandang wajah Narse dengan seksama.
'Kabar apa sih, pak?'
'Kemarin bapak lewat didepan gerombolan teman-teman kamu dan tanpa sengaja bapak mendengar kalian nonton film porno.' Wajah Narse berubah memerah. Lab yang hanya mendapat sinar dari jendela masih bisa memperlihatkan wajah Narse yang tadi sumringah kini agak murung. Mungkin malu bercampur takut.
'Bapak tidak akan marah padamu, nduk. Tapi kamu harus jujur sama bapak.' Aku berusaha menenangkannya.
'Iya, pak.' Narse berkata lirin sambil menunduk.
'Berapa kali?'
'2 kali.'
'Sama teman-teman kamu itu?'
'Iya pak.' Narse mulai terisak. Dia pasti takut aku menyebarkan berita ini, terus orang tuanya tahu, terus diskors dari sekolah dan segala ketakutan pasti terus bermunculan di benaknya.
'Gak usah nangis, nduk.' aku berdiri mendekat lalu membelai rambut Narse layaknya seorang bapak pada anak. Narse tak menghentikan tangisannya disandarkannya kepalanya ke dadaku dan bicara terpatah-patah.
'Narse cuma diajak teman-teman, pak. Bapak jangan sebarin sama sìapa-siapa, Narse takut gak boleh sekolah lagi, Narse takut.' Narse terus menangis dalam dekapanku.
'Ssst... Malu kalau kedengaran teman-teman kamu di luar. Udah berhenti nangis ya.' kuseka air mata Narse.
'Tapi bapak janji gak cerita sama siapa-siapa.'
'Bapak janji.'
Kubiarkan Narse menghabiskan tangisnya di dadaku sambil ku belai rambutnya yang panjang.
'Bapak gak akan marah karena bapak juga suka nonton gituan.'
'Haa... Iya ta pak?' Narse mulai tersenyum dan membetulkan duduknya.
'Malah hampir tiap hari.'
'Emang istri bapak gak marah?'
'Ya sembunyi-sembunyi.' Aku nyengir.
'Kirain pak guru gak suka kayak gitu.'
'Dah mulai SMA bapak lihat gituan.'
'Hehe... pak guruku ternyata nakal ya.' Narse semakin sumringah.